Islam and Culture Education (2)

•April 16, 2009 • Komentar Dinonaktifkan pada Islam and Culture Education (2)

RESPON PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP ISU-ISU GLOBAL
Studi Islam terhadap Isu Kesetaraan gender, Hak Asasi Manusia dan Globalisasi

I. Prolog
Pendidikan Islam dalam menghadapi perubahan social, senantiasa ditunutut dinamis agar tetap eksis dan tak lekang dimakan zaman. Perkembangan zaman yang semakin maju membawa perubahan social ditengah-tangah masyarakat. Teknologi yang canggih semakin memudahkan proses interaksi antar etnis, suku bangsa, budaya dan agama. Interaksi tersebut lambat laun melahirkan dialektika yang beragam ditengah-tengah masyarakat. Ada yang berlangsung secara kondusif, sehingga proses interaksi antar budaya dapat terjadi tanpa melahirkan gejolak ditengah-tengah masyarakat, namun adapula yang melahirkan pergolakan baru, mengingat sebagian masyarakat ada yang bersikap status quo terhadap apa yang mereka miliki sebelumnya.
Peranan pendidikan pada kondisi demikian mempunyai peranan penting, mengingat pendidikan sebagai media transformasi pengetahuan, ditunut agar dapat membawa proses interaksi antar budaya tersebut dapat berlangsung secara kondusif. Terlebih lagi pendidikan Islam, sebagai sebuah pendidikan yang memiliki muatan ideologis, dan budaya tersendiri. Tuntutan proses interaksi yang kondusif tersebut, lambat laun membawa paradigm baru bagi pendidikan Islam.
Isu-isu global mewacana ditengah-tengah perkembangan zaman menuntut pendidikan Islam agar mampu menjawabnya. Apakah isu-isu tersebut relevan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam idealism pendidikan Islam sehingga tidak perlu lagi mencemaskan terjadinya perubahan paradigm? Ataukan isu-isu global tersebut kontraproduktif terhadap idealism Pendidikan Islam, sehingga perlu adanya proses filter agar pada satu sisi Pendidikan Islam mampu mengakomodir hal-hal yang relevan dan disisi lain pendidikan Islam dapat mempertahankan idealismenya tanpa harus surut hanyut, sehingga jatidirinya tetap eksist?
Berangkat dari pemikiran di atas, maka penulis berusaha mengetengahkan fakta-fakta yang terjadi ditengah-tengah umat Islam dalam menyikapi isu-isu global yang mewacana di akhir abad ini. Isu-isu tersebut antara lain adalah Isu Jender, Globalisasi dan Demokrasi. Kemudian bagaimana pendidikan Islam menempatkan diri ditengah-tengah dialektika Islam dan Isu-isu global tersebut.
II. Isu Jender
Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti “jenis kelamin”. Wacana Jender mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan istilah Jender (gender discourse). Nasaruddin Umar mengutip beberapa pendapat para ahli tentang defenisi jender; dalam Women’s Studies Encyclopedia, gender adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Islam and Culture Education (1)

•April 16, 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar

DIALEKTIKA PENDIDIKAN ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DI INDONESIA
I. Pendahuluan
a. Latar Belakang Masalah
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Untuk strategi pengembangan Islam di Indonesia, kita perlu bervisi ke depan. Karena budaya menyentuh seluruh aspek dan dimensi cara pandang, sikap hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Selain itu, gerakan kultural lebih integratif. Kita patut mencontoh metodologi Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Sunan Kalijaga begitu melihat proses keruntuhan feodalisme Majapahit, ia mendorong percepatan proses transformasi itu, justeru dengan menggunakan unsur-unsur lokal guna menopang efektifitas segi teknis dan operasionalnya. Salah satu yang ia gunakan adalah wayang.
Terkait dengan dunia pendidikan Islam, maka terjadi permasalahan lain, selain akulturasi budaya local dengan Islam yang telah mewariskan budaya ditengah masyarakat Arab. Tentunya pada gilirannya Indonesia yang pra kedatangan Islam, telah memiliki akar budaya local yang tidak sejalan dengan nafas keislaman. Kemudian bagaimanakah posisi pendidikan Islam dalam dialektika antara Islam dan kebudayaan local di Indonesia? Mampukah Pendidikan sebagai media menjadi perantara dialog antara keduanya? Sejauh mana peranan pendidikan Islam dalam menjawab perkembangan peradaban yang senantiasa berkembang seiring perkembangan zaman?
b. Rumusan Masalah
Dari permasalahan di atas, maka terimplisit beberapa permasalahan yang perlu di jawab dalam penelitian ini, yakni:
1. Apa dan Bagaimana tujuan pendidikan Islam itu?
2. Apa dan bagaimana hakikat kebudayaan?
3. Bagaimana proses dialog antara Islam dan kebudayaan?
4. Bagaimana posisi Pendidikan Islam dalam dialektika Islam dan kebudayaan local di Indonesia?
II. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan mempunyai arti: “Menanamkan tabiat yang baik agar anak-anak mempuyai sifat yang baik dan berpribadi utama. Dalam mendidik yang lebih dipentingkan adalah segi pribadi anak.
Roger A. Kauliman memberikan definisi pendidikan sebagai berikut; “Education is subject to change and if is sencitive to change.
Sedangkan menurut Hasan Hafizh dan Husen al-Ubbahi serta Najib Yusuf Badawi, dalam bukunya Ushulut Tarbiyyah Waa Ilmun Nafsi mengatakan :
إن التربية عملية نمو أو تغيرتتناول سخصية الطفل من جميع جوانبها
Maksudnya ; Pendidikan adalah usaha menumbuhkan atau merubah (tingkah laku) anak dari segala segi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses penanaman nilai-nilai, yang disengaja atau disadari, untuk menolong anak didik agar dapat berkembang jasmani, akal dan akhlaknya, sehingga dapat mencapai tujuan sebagai manusia berkualitas utama, hidup bahagia, baik secara indovidu maupun dalam kehidupan masyarakat.
Sementara itu, para ahli mendefinisikan pendidikan Islam dengan berbagai pengertian, diantaranya;
Menurut Drs. Syiminan Zaini, pendidikan Islam merupakan “Usaha mengembangkan fitrah manusia degan ajaran agama Islam agar terwujud kehidupan manusia yang makmur dan bahagia.” Sedangkan Ahmad D. Marimba memberikan defenisi pendidikan Islam yaitu;”bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Pendidikan Islam juga diartikan sebagai berikut;
Usaha yang diarahkan kepada pembentukan anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, merumuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
H.M. Arifin mengemukakan hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam kearah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.
Dari beberapa defenisi tentang pendidikan Islam yang telahdiungkapkan oleh para ahli tersebar di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islamadalah suatu proses bimbingan dan asuhan terhadap anak didik, baik jasmani mauapun rohaninya berdasarkan ajaran Islam menuju kea rah terwujudnya kepribadian utama yaitu kepribadian muslim, agar kelak mereka dapat hidup sesuai dengan ajaran Islam.
Namun terkait hubungan antara pendidikan Islam dengan kebudayaan, Malik Fadjar memberikan pengertian tentang pandidikan Islam; bahwa pendidikan Islam tidak hanya memberikan wawasan yang luas dalam pengetahuan, akan tetapi juga menuntut adanya realisasi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu hakikat pendidikan Islam tercermin dalam;
1. Pendidikan yang integralistik mengandung komponen-komponen kehidupan yang meliputi; Tuhan, manusia dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integral bagi terwujudnya kehidupan yang baik, serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individu-sosial.
Pendidikan yang integralistik diharapkan bisa menghasilkan manusia yang memiliki integritas tinggi, yang bisa bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, yang bisa menyatu dengan dirinya sendiri (sehingga tidak memiliki kepribadian yang terbelah), menyatu dengan masyarakatnya (sehingga bisa menghilangkan disintegrasai social), dan bisa menyatu dengan alam (sehingga tidak membuat kerusakan).
2. Pendidikan yang integralistik, memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangusngkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas – antara hewan dan malaikat – ia menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang dan sebagainya.
Pendidikan yang integralistik diharapkan dapat mengembalikan hati manusia di tempat yang semula, dengan menembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik-baik makhluk, khairu ummah. Manusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan yang integralistik diharapkan bisa berfikif, berasa dan berkemauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat individualaistik, egoistic, egosentrik dengan sifat kasih sayang kepada sesame manusia, sifat ingin member dan menerima, saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan dan lain-lainnya.
3. Pendidikan yang pragmatic adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, baik bersifat jasmani, seprti pangan, sandang papan, sex, kendaraan dan lain sebagainya; juga yang bersifat rohani seperti berfikir, merasa, aktualisasi diri, kasih sayang dan keadilan maupun kebutuhan sukmawi seperti dorongan untuk berhubungan dengan yang Adikodrati.
Pendidikan yang pragmatic diharapkan dapat mencetak manusia pragmatic yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan dapat memebedakan manusia dari kondisi dan sistuasi yang tidak manusiawi.
4. Pendidikan yang berakar budaya kuat, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa atau kelompok etnis tertentu. Pendidikan yang berakar budaya kuat diharapkan dapat memebentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budayanya sendiri yang merupakan warisan monumental dari nenek moyangnya. Tetapi bukan yang anti kemoderanan, yang menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar.
Dengan demikian, hubungan pendidikan Islam dengan budaya dapat melahirkan dialektika konstruktif, disatu sisi Islam mongontrol budaya agar lebih beradab, di sisi lain budaya dapat berkembang sesuai dengan tuntutan zaman tanpa meninggalkan akar sejarahnya.
III. Kebudayaan
a. Defenisi Kebudayaan
Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi. Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini. Seniman seperti penari atau pelukis dll juga memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini memang sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa Antropologi bekerja atau meneliti apa yang sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli Antropolgi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah di buat mengatakan ada sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari sekian banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama`diantara para ahli Antropologi tentang arti dari istilah tersebut.
Etimologi kebudayaan atau culture berasal dari kata sanskerta yaitu “ buddhayah” yaitu bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti budi atau akal . Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Namun ada sarjana lain yang menyatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi-daya. Karena itu ia membedakan antara budaya dengan kebudayaan . Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa itu sendiri.
Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari -hari: “Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Dalam sudut pandang lain, kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.”
Dari pengertian-pengertian mengenai kebudayaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan hal yang telah terintegrasi ditengah-tengah masyarakat meliputi tingkah laku, ideology dan material. Oleh karenanya ketiga hal tersebut merupakan wujud dan unsure kebudayaan.
b. Wujud dan Unsur Kebudayaan
Kebudayaan memiliki beberapa wujud, yaitu :
1. Wujud Ideal, yaitu berupa sesuatu yang abstrak yang tidak bisa disentuh, diraba ataupun diobservasi, karena terletak dalam pikiran manusia, seperti ide, gagasan dan pemikiran.
2. Wujud Tindakan atau prilaku, yaitu yang membahas mengenai tingkah pola tindakan dari manusia itu sendiri, hal ini berhubungan dengan aktivitas manusia dalam melakukan interaksi, hubungan, bergaul dengan orang lain yang berlangsung dari detik demi detik, minggu demi minggu bahkan berlangsung tahun demi tahun. Adanya interaksi ini kemudian menimbulkan tata nilai yang mempengaruhi dan mengatur tingkah dan pola manusia dalam melakukan interaksi sehingga dapat menimbulkan sebuah budaya dalam pergaulan.
3. Wujud Material, yaitu berupa hasil atau kebdayaan fisik dari adanya wuud diatas, wujud ideal membangun pandangan hidup , wujud tindakan mengatur aktivitas hidup yang selanjutnya dapat menghasilkan buday-budaya material yang hasilnya dapat dilihat, dirasa dan dinikmati.
Setiap bangsa di dunia memiliki kebudayaan masing-masing yang brbeda dengan kebudayaan bangsa lainnya.
Para ahli antropologi menyebutkan bahwa wujud budaya ada tiga, yaitu gagasan, aktivitas dan benda. Ketiganya saling berkaitan. Sementara itu, isi kandungan budaya menurut ahli antropologi ada tujuh, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, relegi dan kesenian. Dari wujud dan isi kandungan budaya itulah terlihat bahwa produk budaya dalam masyarakat beragama merupakan hasil dialektika agama dan budaya lokal yang plural itu. Sebgai contoh dapat dikemukakan di sini, misalnya pemilihan warna bendera bagi tanda kematian. Warna putih untuk daerah yogyakarta, merah untuk surakarta, kuning untuk jakarta, hijau untuk palembang dan hitam untuk padang. Tentu saja pluralitas dalam ekspresi warna tersebut memperlihatkan kekayaan kreativitaas dan tidak perlu menjadi pertentangan.

c. Proses Terbentuknya Budaya
Dalam esensitas kebudayaan masyarakat terdapat beberapa factor terbentuknya sebuah kebudayaan, hal ini yang selanjutnya melahirkan keragaman budaya ditengh-tengah masyarakat. Adapun Faktor-faktor pembentuk keragaman kebudayaan, menurut Malik Fadjar yaitu;
1. Otoritas kekuasaan dalam kerangka persaingan danperebutan hegemoni dan dominasi kebudayaan sebagai ekspresi politik.
2. Faham keagamaan, baik dalam bentuk madzhab fikih maupun orde sufi (tarekat).
3. Ciri-ciri etnis dan rasial pemeluk Islam. Ciri-ciri ini bagaimanapun, telah mempengaruhi bahasa dan keusteraan, serta segala macam bentuk seni, termauk musik variasi dalam gaya kaligrafi, ornamen dan arsitektur, bahkan pakaian dan perhiasan.
4. Sejarah. Kesamaan pengalaman sejarah dan jenis kesadaran yang dimiliki sebuah masyarakat tertentu di masa lampau tidak saja berpengaruh kuat dalam membentuk identitas kebudayaan tetapi juga dalam menetapkan pola kebudayaan regional/lokal. Kesamaan pengalam sejarah dapat berupa kesamaan mengalami suatu kebudayaan pra Islam tertentu.
5. Ciri-ciri demografis dan geografis. Kawasan-kawasan di mana selama berabad-abad timbul dan tenggelam secra terus menerus antara masyarakat nomadik (pengelana) dan penetap, mendapatkan ciri-ciri umum yang menonjol dalam beberapa segi kebudayaan, seperti juga kawasan-kawasa yang dihuni masyarakat agraris yang menetap secara penuh.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa unsure-unsur terbentuknya keragaman budaya terkait pada system pemerintahan, system kepercayaan, pandangan hidup yang melahirkan keanekaragaman seni, bahasa dan wujud fisik ornament, sejarah dan kondisi geografis.
IV. Pendidikan Islam dan Kebudayaan Lokal di Indonesia
a. Interaksi Islam dan Budaya Lokal di Indonesia
Ada 3 kategori kebudayaan dalam masyarakat Indonesia, ketiganya terwujud dalam struktur kehidupan perkotaan, yaitu: (1) Kebudayaan nasional Indonesia atau kebudayaan bangsa Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang berfungsi dan operasional kegunaannya dalam suasana-suasana nasional dan arena-arena interaksi yang terwujud dalam struktur-struktur serta pranata-pranata yang diciptakan oleh dan yang menjadi unsur-unsur pendukung dari sistem nasional. (2) Kebudayaan-kebudayaan sukubangsa yang berfungsi dan operasional dalam suasana-suasana sukubangsa dan arena-arena interaksi yang ada dalam pranata-pranata dan struktur-struktur kebudayaan sukubangsa masing-masing, terutama dalam kehidupan keluarga dan kekerabatan. (3) Kebudayaan umum-lokal yang berfungsi dan operasional kegunaannya dalam berbagai fase kehidupan pergaulan umum (ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kebudayaan) yang berlaku dalam lokal-lokal di tempat umum.”
Dari ketiga corak kebudayaan yang tercermin ditengah masyarakat tersebut, memiliki unsure kebudayaan yang fundamen dalam proses terbentuknya kebudayaan di Indonesia.
Adapun ketujuh unsure kebudayaan tersebut adalah :
1. Bahasa
2. Sistem Pengetahuan
3. Sistem religi
4. Sitem Sosial Kemasyarakatan
5. Sistem Teknologi
6. Sistem Mata Pencaharian
7. Kesenian
Dari pengertian di atas, maka agama merupakan salah satu unsure dari kebudayaan yang ada. Sebelum datangnya Islam di Indonesia, agama yang telah membudaya ditengah masyarakat adalah agama Hindu dan Budha. Seiring dengan berjalannya waktu, Islam masuk di wilayah Indonesia melalui para pendakwahnya mampu mengenalkan Islam kepada masyarakat di Indonesia. Proses interaksi Islam yang sebelumnya telah membudaya di kawasan Arabia, dengan agama Hindu dan Budha yang telah ada di Indonesia, mampu berintegrasi secara kondusif. Hal ini tidak lepas dari peranan para pendakwah Islam yang mampu mengakomodir kebudayaan local yang sebelumnya telah ada di Indonesia.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.
Hal tersebut senada dengan defenisi yang diungkapkan oleh Abudinnata dalam merefleksikan Islam cultural; dalam arti Islam yang dipahami melalui pendekatan kebudayaan atau Islam yang dipengaruhi oleh paham atau konsep kebudayaan sangat dimungkinkan.
Dalam sudut pandang ajaran agama Islam, telah mengatur adanya interaksi ajaran agama terhadap kebudayaan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Hal tersebut tercermin dalam kaidah-kaidah hokum Islam yang mengatur adat kebiasaan manusia yang disebut dengan ‘urf. Namun demikian para ulama yang menerima ‘urf sebagai dalil menetapkan hokum, menetapkan sejumlah syarat agar ‘urf (adat kebiasaan) diterima oleh ajaran Islam;
1. Adat atau ‘urf mengandung kemaslahatan dan logis.
2. ‘Urf berlaku umum atau minimal dikalangan sebagian masyarakat.
3. ‘Urf yang telah dijadikan sandaran dalam penetapan hokum harus ‘urf yang telah berlaku saat ini bukan ‘urf yang muncul kemudian.
4. ‘Urf tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan dalil yang pasti.
Dengan demikian dilihat dari segi shahih tidaknya, ‘urf terbagi dua: ‘urf shahih dan fasid. Yang pertama adalah adat kebiasaan manusia yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, seperti kebiasaan seorang istri tidak dapat pindah ke rumah suaminya kecuali setelah menerima sebagian dari mahar, karena mahar terbagi dua; ada yang didahulukan dan ada yang diakhirkan. Sedangkan yang diberikan oleh si peminang pada saat tunangan di anggap hadiah bukan bagian dari mahar. ‘Urf Shahih ini wajib diperhatikan dalam proses pembuatan hukum dan pemutusan hukum di pengadilan yang disebabkan adat kebiasaan manusia, kebutuhan dan kemashlahatan mereka. ‘Urf Fasid adalah adat kebiasaan manusia menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal seperti kebiasaan makan riba, ikhthilath (campur baur) antara pria dan wanita dalam pesta. ‘Urf ini tidak boleh digunakan sumber hukum, karena bertentangan dengan syariat.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Malik Fadjar yang menempatkan sudut pandang agama dalam studi sosiologi keagamaan pada dua sudut pandang yang berbeda. Pertama agama merupakan directive system dan defesif system. Peranan agama sebagai directive system menempatkan agama sebagai referensi utama dalam proses perubahan, yaitu sebagai supreme morality yang memberikan landasan dan kekuatan etik – spiritual bagi masyarakat, ketika berdialektika dalam proses perubahan. Oleh karenanya agama akan mampu bersinergi dengan perubahan-perubahan yang ada ditengah masyarakat, seiring dengan perkembangan dan perubahan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Sementara dalam defensive system, agama ditempatkan menjadi semacam kekuatan resistensial bagi masyarkat ketika berada dalam lingkaran persoalan kehidupan yang semakin kompleks di tengah derasnya arus perubahan. Dalam hal ini maka agama tidak akan mampu bersinergi dengan perkembangan dan perubahan yang senantiasa bersifat dinamis.
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol agama.
Oleh karena itu, proses interaksi Islam dengan kebudayaan local di Indonesia terimplisitkan beberapa prinsip pengembangan kebudayaan;
1. Prinsip keterbukaan, dengan prinsip ini, kebudayaan Islam tidak dibangun dari nol. Islam datang pada sebuah kebudayaan – dengan berbagai faktor yang melekat pada dirinya, seperti faktor sejarah, faktor etnis, dan rasial, serta faktor demografis dan georafi – untuk kemudian memeberikannya sebuah visi keagamaan, sesuai dengan faham hasil internalisasi masyarakt pendukungnya.
2. Prinsip toleransi, sebagai konsekuensi dari prinsip pertama, keterbukaan membutuhkan toleransi; tidak ada keterbukaan tanpa toleransi.
3. Prinsip kebebasan. Aktualisasi dari pemberian visi keagamaan menuntut kebebasan untuk mengembangkan kebudayaan sebgai proses eksistensi keratif.
4. Prinsip otentisitas yang tersirat dari visi keagamaan yang melandasi bekerjanya prinsip kebebasan. Keragaman yang lahir dari aktualisasi tigi prinsip pertama terintegrasikan dalam kesatuan spiritualitas melalui prinsip otentisitas.
b. Posisi Pendidikan Islam Terhadap Budaya Lokal
Dalam salah satu sudut pandang, pendidikan dipahami dalam bentuknya yang bercorak normatif. Aritnya pendidikan tidak lebih dari sekedar sebagai proses transformasi nilai. Dengan pengertian semacam ini, maka pendidikan hanya merupakan lembaga konservasi yang lebih mengutamakan nilai-nilai tradisional yang bersifat adi luhung, yang dianggap masih signifikan untuk kehidupan sekarang dan masa depan. Corak pendidikan demikian sulit menerima pembaruan, karena dipandang akan berakibat pada perombakan tata nilai yang sudah ada. Sementar itu dalam sudut pandang lain, pendidikan dipahami dalam kaitannya dengan proses dialektika budaya. Dalam konteks ini pendidikan diharapkan mempunyai peran secara dialektis-transformatif dalam kehidupan sosial budaya yang senantiasa menunjukkan perubahan secara terus menerus sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan peradaban umat manusia. Karena itu, pendidikan perlu ditempatkan sebagai sistem terbuka (open sistem) – yang siap melakukan dialog kultural – dan bukan sebaliknya sebagai sistem terututup (close sistem).
Dalam sudut pandang tersebut, maka posisi pendidikan Islam dalam proses dialektika budaya di Indonesia selayaknya ditempatkan pada sistem yang terbuka, sehingga ajaran agama Islam dapat diterima dan menjadi tolak ukur bagi keberadaban kebudayaan yang ada.
Abdurrahman an-Nahlawi dalam mendefinisikan tujuan akhir pendidikan Islam mengungkapkan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.
Tujuan Pendidikan Islam mencakup aspek sosial dalam pendidikan mempunyai banyak makna, yang terpenting adalah :
1. Perkembangan perasaan sosial, seperti perasaan bersandar dan kecenderungan fitriah kepada kelompok (ingroup feeling), serta suka meniru.
2. Perkembangan pengalaman sosial dan segala implikasinya, seperti ; cara berinteraksi dengan kelompok; pengetahuan tentang apa yang diharamkan, disukai dan diwajibkan oleh kelompok kepada setiap individunya; dan bertingkah laku di dalam kelompok dan tata-cara hidup bersama.
3. Perkembangn konsep sosial dan tujuan bersama yang lahir dari dalam jiwa setiap individu sebagai damapak dari pendidian sosisal yang mereka peroleh, dan dari partisipasi dalam hari-hari raya umat, ibadahnya, penampilan hidup kelompoknya, atau usaha-usaha perekonomian atau pembelaan agama (termasuk pembelaan negara dan masyarakat).
Dengan demikian maka cukup jelas bahwa posisi pendidikan Islam dalam dialektika terhadap budaya selayaknya menjadi transformer ajaran sekaligus membuka ruang dialog terbuka terhadap budaya-budaya local yang ada, tanpa meninggalkan esensi ajaran agama Islam itu sendiri. Wallahu ‘alam bi shawwab.

DAFTAR PUSTAKA
A. Malik Fadjar, “Reorientasi Pendidikan Islam”, (Fajar Dunia, Jakarta, 1999) Cet. I
A.W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: 1984
Abdurrahman an-Nahlawi, “Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat”, (CV. Diponegoro, Bandung, 1989), Cet. I
Abudin Nata, Dr. MA., Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001), Cet. 2
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushu al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Dakwah al Islamiyyah, tt
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, Al-Ma’arif, 1987)
Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002
Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1994
Hasan H., H. al-Qubbahi Najib YB, Ushulut Tarbiyyah wa Ilmun Nafsi, Mesir, Cet. I, 1956
http://www.geocities.com/new_palakat/artikel/003.htm

RELASI ANTARA ISLAM DAN KEBUDAYAAN


http://dedywsanusi.blogspot.com/2006/05/islam-dan-budaya-lokal-dialektika-yang.html
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001
Lucky Zamzami http://luckyzam.blogspot.com/2007_06_07_archive.html
Roger A. Kaufman, Education System Planning, New York, Prentice-Hlla Inc, Englowood Sliffe, 1972
Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1986
Wahbah Zuhaili, Dr., “Ushul Fiqh al-Islami” (Beirut, cet.I,1986) jilid II
Yuniawan : http://yuniawan.blog.unair.ac.id/files/2008/03/antokebud.pdf
Zuhairini, dkk, Methodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya, Usaha Nasional, 1983,
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1995)
Zakiyuddin Baidhawy dan Mutoharun Jinan (ed), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2003), Cet. I

Multikulturalism

•Desember 21, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

MENGGAGAS PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Dengan jumlah yang ada diwilayah NKRI sekitar kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta jiwa,terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen protestan, hindu, budha, konghucu, serta berbagai macam kepercayaan.
Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam persoalan seperti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi ,nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu. Contoh konkrit terjadinya tragedy pembunuhan besar-besaran tehadap pengikut partai PKI pada tahun 1965, kekerasan etnis cina di Jakarta pada bulan Mei 1998 dan perang antara islam Kristen di maluku utara pada tahun 1999-2003.
Sebagai pemeluk mayoritas penduduknya muslim, maka lembaga pendidikan Islam cukup mendapat tempat di negeri ini. Namun permasalahan yang mendasar dalam hal ini adalah sejauhmana orientasi pendidikan Islam dalam mengakomodir permasalahan-permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Mengingat dalam kondisi masyarakat yang multicultural ini, sangat rentan terhadap disintegrasi dan gep ditengah masyarakat, jika orientasi dan pemahaman keagamaan masyarakat tidak mampu menerima fakta social di tengah-tengah mereka.
Dalam upaya menjembatani harapan tersebut maka konsep pendidikan multicultural menjadi salah satu solusi dalam menghadapi permasalahan tersebut. Namun demikian, isu pendidikan ini masih relative baru dalam kancah pendidikan di Indonesia, terutama dalam lingkup masyarakat muslim. Hal ini mengingat; Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan demikian multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka dan era demokritisai kehidupan.
II. PENDIDIKAN ISLAM
a. Hakikat Pendidikan Islam
Tiga pengertian tentang lembaga pendidikan Islam
1. Lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasarat menejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Dalam pengertian ini, Islam dilihat sebagai sumber nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan lembaga pendidiakn yang bersangkutan.
2. Lembaga pendidikan yang memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program kajian sebagai ilmu dan diperlakukan seperti ilmu-ilmu lain yang menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan.
3. Mengandung kedua pengertian di atas, dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program kajiannya.
Dari ketiga pengertian di atas, kiranya pengertian ketiga cukup dapat memberikan apresiasi dalam pendidikan Islam yang menyeluruh. Hal ini mengingat, bahwa pendidikan Islam tidak hanya memberikan wawasan yang luas dalam pengetahuan, akan tetapi juga menuntut adanya realisasi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu hakikat pendidikan Islam tercermin dalam;
1. Pendidikan yang integralistik mengandung komponen-komponen kehidupan yang meliputi; Tuhan, manusia dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integral bagi terwujudnya kehidupan yang baik, serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individu-sosial.
Pendidikan yang integralistik diharapkan bisa menghasilkan manusia yang memiliki integritas tinggi, yang bisa bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, yang bisa menyatu dengan dirinya sendiri (sehingga tidak memiliki kepribadian yang terbelah), menyatu dengan masyarakatnya (sehingga bisa menghilangkan disintegrasai social), dan bisa menyatu dengan alam (sehingga tidak membuat kerusakan).
2. Pendidikan yang integralistik, memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangusngkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas – antara hewan dan malaikat – ia menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang dan sebagainya.
Pendidikan yang integralistik diharapkan dapat mengembalikan hati manusia di tempat yang semula, dengan menembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik-baik makhlik, khairu ummah. Menusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan yang integralistik diharapkan bisa berfikif, berasa dan berkemauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat individualaistik, egoistic, egosentrik dengan sifat kasih sayang kepada sesame manusia, sifat ingin member dan menerima, saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan dan lain-lainnya.
3. Pendidikan yang pragmatic adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, baik bersifat jasmani, seprti pangan, sandang papan, sex, kendaraan dan lain sebagainya; juga yang bersifat rohani seperti berfikir, merasa, aktualisasi diri, kasih sayang dan keadilan maupun kebutuhan sukmawi seperti dorongan untuk berhubungan dengan yang Adikodrati.
Pendidikan yang pragmatic diharapkan dapat mencetak manusia pragmatic yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan dapat memebedakan manusia dari kondisi dan sistuasi yang tidak manusiawi.
4. Pendidikan yang berakar budaya kuat, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa atau kelompok etnis tertentu. Pendidikan yang berakar budaya kuat diharapkan dapat memebentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budayanya sendiri yang merupakan warisan monumental dari nenek moyangnya. Tetapi bukan yang anti kemoderanan, yang menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar.
b. Tujuan Pendidikan Islam
Sebelum menoleh tentang tujuan dari pendidikan Islam, terlebih dahulu terdapat beberapa pandangan di kalangan kaum muslimin tentang Islam dan pendidikan;
1. Islam sebagai agama terakhir dan penyempurna – dari agama-agama sebelumnya – adalah agama yang ajarannya mencakup segala aspek kehidupan umat manusia. Menurut kelompok ini pendidikan Islam harus merujuk pada pendidikan sebagaimana yang secara sosiologis dicontohkan oleh Rasulullah dan generasi sahabatnya. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mengajarakan agama Islam, laki-lai dan perempuan dipisahkan dan berpakaian khas.
2. Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Pendidikan menurut kelompok tidak ada, melainkan yang ada adalah pendidikan Islami, karena pendidikan –menurut mereka – berada dalam kawasan yang bebas nilai, tidak mempunyai konteks dengan Islam. Islam hanya menempati kawasan aksiologis, nilai-nilai etis dalam pemanfaatan dan berada di luar struktur ilmu pendidikan.
3. Islam bukanlah sebuah system kehidupan yang praktis dan baku, melainkan sebuah system nilai dan norma (perintah dan larangan) yang secara dinamis harus dipahami dan diterjemahkan berdasarkan setting sosisal dan dimensi ruang dan waktu tertentu. Pendidikan Islam hanya menyediakan bahan baku, sedangkan untuk menjadi sebuah system yang operasional, manusia diberikan kebebasan untuk membangun dan menerjemahkan. Karena itu tidak ada pendidikan Islam yang baku, melainkan manusia dirangsang untuk menciptakan system pendidikan yang ideal.
4. Islam adalah petunjuk hidup yang menghidupkan. Islam tidak memberikan petunjuk terhadap semua aspek kehidupan manusia yang bersifat baku dan operasional. Karena hal ini akan mematikan kreativitas dan memasung kebebasan manusia. Yang diberikan petunjuk secara rinci dan operasional oleh Islam hanyalah hal-hal tertentu yang dianggap khusus, krusial, dan memang tidak memerlukan krativitas pemikiran manusia. Sedangkan dalam masalah lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak, Islam hanya memberi petunjuk umum, baik berupa nilai, etik, postulat atau aksioma maupun hipotesis sejarah. Oleh karena itu, seperti masalah ekonomi, politik dan pendidikan sebagai masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak, Islam hanya memberikan petunjuk sebagai asas, tujuan dan nilai-nilai etis berkenaan dengan operasionalisasi bidang-bidang tersebut.
Dari pandangan-pandangan tersebut, pada hakikatnya pendidikan Islam bertujuan untuk : merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.
Dalam merealisasikan ubudiyyah kepada Allah di dalam aspek social kemasyarakatan pendidikan Islam mempunyai banyak makna, yang terpenting di antaranya adalah;
1. Perkembangan perasaan sosial, seperti perasaan bersandar dan kecenderungan fitriah kepada kelompok (ingroup feeling), serta suka meniru.
2. Perkembangan pengalaman sosial dan segala implikasinya, seperti ; cara berinteraksi dengan kelompok; pengetahuan tentang apa yang diharamkan, disukai dan diwajibkan oleh kelompok kepada setiap individunya; dan bertingkah laku di dalam kelompok dan tata-cara hidup bersama.
3. Perkembangn konsep sosial dan tujuan bersama yang lahir dari dalam jiwa setiap individu sebagai damapak dari pendidian sosisal yang mereka peroleh, dan dari partisipasi dalam hari-hari raya umat, ibadahnya, penampilan hidup kelompoknya, atau usaha-usaha perekonomian atau pembelaan agama (termasuk pembelaan negara dan masyarakat).
III. MASYARAKAT MULTIKULTURAL
a. Masyarakat dan Peradaban
Corak dan ciri-ciri masyarakat yang akan berkembang di masa sekarang dan masa yang akan datang;
1. Terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat teknologis ditandai dengan adanya pembakuan kerja dan perubahan nilai yaitu makin dominannya pertimbangan efesiensi dan produktivitas.
2. Kecenderungan perilaku masyarakat yang semakin fungsional. Dalam masyarakat seperti ini hubungan sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan kepentingan semata. Keberadaan seseorang sangat ditentukan sejauh mana ia fungsional bagi orang lain. Karena itu kemampuan seseorang secara individual sangat dibutuhkan. Jadi dalam masyarakat seperti ini terjadi pergeseran pola hubungan sosial dari affective ke efective neutral, sebagaimana dikatkan oleh Parsons, yakni perubhan dari hubungan yang mempribadi dan emosional ke hubungan yang tidak mempribadi dan berjarak.
3. Masyarakat padat informasi. Dalam masyarakt seperti ini, keberadaan seseorang sangat ditentukan oleh berapa banyak dan sejauh mana dia menguasai informasi.
4. Kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem yang terbuka (open system)
b. Proses terbentuknya Peradaban
Faktor-faktor pembentuk keragaman kebudayaan
1. Otoritas kekuasaan dalam kerangka persaingan dan perebutan hegemoni dan dominasi kebudayaan sebagai ekspresi politik.
2. Faham keagamaan, baik dalam bentuk madzhab fikih maupun orde sufi (tarekat).
3. Ciri-ciri etnis dan rasial pemeluk Islam. Ciri-ciri ini bagaimanapun, telah mempengaruhi bahasa dan keusteraan, serta segala macam bentuk seni, termauk musik variasi dalam gaya kaligrafi, ornamen dan arsitektur, bahkan pakaian dan perhiasan.
4. Sejarah. Kesamaan pengalaman sejarah dan jenis kesadaran yang dimiliki sebuah masyarakat tertentu di masa lampau tidak saja berpengaruh kuat dalam membentuk identitas kebudayaan tetapi juga dalam menetapkan pola kebudayaan regional/lokal. Kesamaan pengalam sejarah dapat berupa kesamaan mengalami suatu kebudayaan pra Islam tertentu.
5. Ciri-ciri demografis dan geografis. Kawasan-kawasan di mana selama berabad-abad timbul dan tenggelam secra terus menerus antara masyarakat nomadik (pengelana) dan penetap, mendapatkan ciri-ciri umum yang menonjol dalam beberapa segi kebudayaan, seperti juga kawasan-kawasa yang dihuni masyarakat agraris yang menetap secara penuh.
c. Tanggung jawab Masyarakat terhadap Peradaban
Manusia yang hidup didalam milenium ketiga berada didalam suatu dunia yang jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Belum pernah terjadi didalam sejarah umat manusia, seseorang menyadari bahwa dia tidak hidup terasing dari dunia dan masyarakat lainnya. Revolusi transfortasi dan informasi telah menyebabkan setiap individu menyadari akan dirinya sendiri, apakah dia terasing atau merupakan bagian dari umat manusia. Dunia berubah dengan sangat cepat sehingga muncullah suatu proses penyadaran diri dari setiap insane yang hidupdi bumi ini, bahwa dia adalah bagian dari kehidupan yang lebih besar yaitu kehidupan umat manusia yang mempunyai tujuan, cita-cita, rasa kebersamaan dalam suatu kelompok ataupun dalam ikatan suatu negara dan bangsa. Masyarakat dan bangsa Indonesia yang relatif aman, tidak bergejolak, dan bahkan dapat menerima “ penjajahan” selama 350 tahun. Ada pameo pada masa kolonial yang mengatakan bahwa bangsa jawa adalah bangsa yang paling lembut di dunia. Bangsa yang lemah lembut, merupakan cirri dari masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah suatu bentuk masyarakat yang relatif stabil, terkontrol, hidup tenang penuh dengan kepastian, dan tertutup. Kehidupan masyarakat diikat oleh kesatuan tradisi yang sifatnya mengikat baik moral etis bahkan teologis. Kekuatan-kekuatan kramat mengikat masyarakat tradisional baik didalam hubungan kekuasaan maupun di dalam aspek kehidupan, semuanya diatur, baik oleh kekuatan natural seperti kekuasaan raja yang feudal sampai kepada kekuatan supernatural yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Di dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat terbatas, dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat lambat. Masyarakat yang stabil tersebut kini menjadi berantakan didalam kehidupan yang tidak menentu. Perubahan besar yang terjadi di muka bumi ini dengan lahirnya masyarakat industri pada abad ke-18 di eropa. Dengan demikian munculah gelombang modernisasi yang pertama. Gelombang modernisasi pertama seperti yang terlihat didalam masyarakat barat yang sifatnya sederhana, perubahan-perubahan linier, perkembangan industri yang menyerap lapangan kerja baru disamping pertanian.semua perubahan tersebut terjadi didalam ruang lingkup negara dan bangsa.
Gelombang modernisasi pertama berjalan hampir dua abad lamanya. Namun dengan demikian munculnya gelombang modernitas kedua, kepastian yang dinikmati oleh manusia menghilang dan secara simultan lahirlah perubahan-perubahan sosial yang dahsyat dan tidak dapat diatasi lagi oleh manusia.modernisasi gelombang kedua ini membawa manusia kepada apa yang disebut suatu masyarakat penuh resiko.
Dalam perjalananya masyarakat Indonesia menuntut proses pengambilan keputusan yang tepat. Masyarakat yang dapat mengambil keputusan dengan tepat adalah masyarakat yang terdidik, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dibimbing oleh moral untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsanya, serta masyaraka dunia.
Seiring dengan perkembangan dan tuntutan jaman maka lahirlah konsep masyarakat individualitas yang baru, sehingga konsep-konsep yang lama tidak dapat digunakan lagi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan yang dahsyat didalam masyarakat dunia akibat lahirnya demokrasi poltik, yang menuntut hak-hak politik dari warga negara, diikuti oleh demokrasi sosial yaitu keinginan untuk membangun suatu masyarkat sejahtera, dan lahirlah apa yang disebut demokrasi cultural yang mengubah dasar-dasar hidup keluarga yang stabil didalam masyarakat tradisional, perubahan peranan gender, perubahan relasi antar manusia didalam membangun keluarga, hingga mudah retaknya struktur keluarga inti yang dikenal didalam masyarakat tradisional.
IV. PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MULTIKULTURAL
a. Posisi Pendidikan Islam terhadap Kebudayaan
Dalam salah satu sudut pandang, pendidikan dipahami dalam bentuknya yang bercorak normtif. Aritnya pendidikan tidak lebih dari sekedar sebagai proses transformasi nilai. Dengan pengertian semacam ini, maka pendidikan hanya merupakan lembaga konservasi yang lebih mengutamakan nilai-nilai tradisional yang bersifat adi luhung, yang dianggap masih signifikan untuk kehidupan sekarang dan masa depan. Corak pendidikan demikian sulit menerima pembaruan, karena dipandang akan berakibat pada perombakan tata nilai yang sudah ada. Sementar itu dalam sudut pandang lain, pendidikan dipahami dalam kaitanna dengan proses dialektika budaya. Dalam konteks inipendidikandiharapkan mempunyai peran secara dialektis-transformatif dalam kehidupan sosial budaya yang senantiasa menunjukkan perubahan secara terus menerus sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan peradaban umat manusia. Karena itu, pendidikan perlu ditempatkan sebagai sistem terbuka (open sistem) – yang siap melakukan dialog kultural – dan bukan sebaliknya sebagai sistem terututup (close sistem).
Salah satu factor yang mempengaruhi masa depan pendidikan Islam di Indonesia adalah; globalisasi, demokratisasi dan liberalisasi Islam. Globalisasi tidak semata-mata mempengaruhi system pasar, tetapi juga system pendidikan. Penetrasi budaya global terhadap kehidupan masyarakat Indonesia akan direspons secara berbeda-beda olehkalangan pendidikan; permisif, defensive dan transformative. Kolompok pertama, akan cenderung menerima begitu saja pola dan model budaya global yang dialirkan melalui teknologi informasi, tanpa memahami nilai dan substansinya. Sebaliknya, kelompok kedua akan apriori terhadap capaian budaya dan peradaban global, semata-mata karena ia tidak dating dari tradisi yang diikutinya selama ini. Sedangkan kelompok ketiga berusaha mendialogkan antara budaya global dengan budaya local sehingga terjadi sintesis budaya yang dinamis dan harmonis.
Sementara demokrasi, pada awalnya ditujukan pada system Negara sebagai ‘perlawanan’ terhadap system politik yang otoriter. Dalam perkembangannya, tuntutan ini mengarah pada system pengelolaan berbagai bidang kehidupan termasuk pendidikan. Jika sebelumnya system pendidikan bersifat sentralistik, seragam, dan dependen, maka belakangan berkembang tuntutan pengelolaan pendidikan yang lebih otonom dan beragam. Di samping itu, tuntutan partisipasi masyarakat khususnya dalam pengawasan mutu pendidikan yang transparan dan bertanggung jawab. Termasuk ke dalam tuntutan demokratisasi ini adalah menggeser paradigm pendidikan sehingga lebih menekankan pada peran siswa secara aktif.
Sedangkan isu liberalisasi Islam, hal ini didasarkan akan adanya proses dialektika antara ajaran Islam dengan kondisi local sehingga menghasilkan pemahaman agama yang fungsional – dapat berlaku dalam lingkungan pemeluknya. Sementara itu, perkembangan dalamberbagai kehidupan mutakhir sebagian tidak mendapatkan penjelasan yang cukup tegas dari teks-teks suci. Dalam hal ini muncul tuntutan liberalisasi Islam, baik dalam perspektif yang ekstrim maupun perspektif yang moderat. Dalam perspektif ekstrim, liberalisasi Islam berarti mengabaikan sama sekali teks-teks suci. Sedangkan perspektif moderat menyadari perlunya penafsiran yang bebas terhadap teks-teks suci sejauh konsisten dengan nilai dasar yang dikandungnya, sehingga isu baru apapun yang berkembang dewasa ini pada dasarnya memiliki relevansi dengan esensi ajaran agama.
b. Apresiasi Islam terhadap keragaman kebudayaan local
Dalam studi sosiologi agama, terdapat dua peran penting agama, yaitu peran directive sistem dan defesive sistem. Dalam peran pertama, agama ditempatkan sebagai referensi utama dalam proses peubahan, yaitu sebagai supreme morality yang memberikan landasan dan kekuatan etik – spiritual bagi masyarakat, ketika berdialektika dalam proses perubahan. Dengan demikian agama tidak lagi dipandang sebagai penghambat perubahan seperti dalam filsafat matrealisme, melainkan tetapi aka memberikan daya dorong luar biasa bagi terciptanya perubahan yang konstruktif dan humanis bagi masa depan umat manusia. Peran itu dapat dilakukan, manakala dalam agama tersedia formulasi-formulasi sistem nilai yang lengkap, yakni totalitas sistem makana yang berlaku bagi seluruh kehidupan, baik individu maupun sosial. Kekuatan agama terletak pada tata nilai yang ditawarkan. Oleh karena itu, tanpa adanya tawaran nilai yang konkret dan lengkap, lambat laun agama akan ditinggalkan oleh sejarah.
Adapun peran yang kedua, agama menjdai semacam kekuatan resistensial bagi masayarkat ketika berada dalam lingkaran persoalan kehidupan yang semakin kompleks di tengah derasnya arus perubahan. Dalam konteks demikian, masyarakat akan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri dan tidak ada rasa khawatir serta ragu dalam menghadapi kehidupan, namun perbincangan tentang peran sosologis agama akan sia-sia, manakala hanya dilihat dari perspektif agama an sich. Sebab agama mempunyai cakupan doktrinal yang universal.
Dari keanekaragaman kebudayaan Islam terimplisitkan beberapa prinsip pengembangan kebudayaan;
1. Prinsip keterbukaan, dengan prinsip ini, kebudayaan Islam tidak dibangun dari nol. Islam datang pada sebuah kebudayaan – dengan berbagai faktor yang melekat pada dirinya, seperti faktor sejarah, faktor etnis, dan rasial, serta faktor demografis dan geografi – untuk kemudian memeberikannya sebuah visi keagamaan, sesuai dengan faham hasil internalisasi masyarakt pendukungnya.
2. Prinsip toleransi, sebagai konsekuensi dari prinsip pertama, keterbukaan membutuhkan toleransi; tidak ada keterbukaan tanpa toleransi.
3. Prinsip kebebasan. Aktualisasi dari pemberian visi keagamaan menuntut kebebasan untuk mengembangkan kebudayaan sebagai proses eksistensi keratif.
4. Prinsip otentisitas yang tersirat dari visi keagamaan yang melandasi bekerjanya prinsip kebebasan. Keragaman yang lahir dari aktualisasi tigi prinsip pertama terintegrasikan dalam kesatuan spiritualitas melalui prinsip otentisitas.
c. Konsep Pendidikan Islam Multikultural di Indonesia
Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis,budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut.
Satu, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Dua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Tiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligence).
Empat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa.
Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No.20 tahun 2003 sistem pendidikan nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis,
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1. Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural).
3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
5. Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi.
Dalam salah satu sudut pandang, pendidikan dipahami dalam bentuknya yang bercorak normtif. Aritnya pendidikan tidak lebih dari sekedar sebagai proses transformasi nilai. Dengan pengertian semacam ini, maka pendidikan hanya merupakan lembaga konservasi yang lebih mengutamakan nilai-nilai tradisional yang bersifat adi luhung, yang dianggap masih signifikan untuk kehidupan sekarang dan masa depan. Corak pendidikan demikian sulit menerima pembaruan, karena dipandang akan berakibat pada perombakan tata nilai yang sudah ada. Sementar itu dalam sudut pandang lain, pendidikan dipahami dalam kaitanna dengan proses dialektika budaya. Dalam konteks ini pendidikan diharapkan mempunyai peran secara dialektis-transformatif dalam kehidupan sosial budaya yang senantiasa menunjukkan perubahan secara terus menerus sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan peradaban umat manusia. Karena itu, pendidikan perlu ditempatkan sebagai sistem terbuka (open sistem) – yang siap melakukan dialog kultural – dan bukan sebaliknya sebagai sistem terututup (close sistem).
Pendidikan Islam yang mampu mengakomodir setiap perubahan yang terjadi seiring dengan laju pertumbuhan modern, setidaknya harus bisa memberi tempat bagi corak pendidikan yang multicultural. Namun demikian asas-asas ajaran agama Islam tidak hilang dalam tujuan akhir dari pendidikan Islam itu sendiri.

V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa hal :
1. Pendidikan Islam multikultural sebagai sarana alternatif pencegah terjadinya konflik sosial. Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan Islam guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Saat ini, pendidikan Islam multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar: menyiapkan umat Islam Indonesia untuk menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya.
2. pendidikan multikultural sebagai pembina agar sisiwa tidak tercerabut dari akar budayanya selain sebagai sarana alternatif perpecahan konflik, pendidikan multikultural juga signiifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercerabut dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya tatkal berhadapan dengan realitas sosial dan budaya di era globalisasi.
3. sebagai landasan pengembangan kurukulum penidikan Islam. Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai siswa dengan ukuran atau tingakatan tertentu, maka pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting.
B. Saran :
1. Kepada praktisi pendidikan (guru, dosen, staf pengajar, ustadz, dll), hendaknya hendaknya menanamkan nilaui-nilai multikulturalisme dalam proses belajar mengajar (PBM) dengan cara memberikan menyangkut relitas multikultural dan mempraktekkan dalam kehidupan nyata, sehingga peserta didik memiliki kompetensi nilai-nilai multikulturalisme.
2. Kepada pengamat dan pemerhati masalah pendidikan, agar terus berusaha membumikan wacana pendidikan multikultural melalui berbagai media, baik media massa maupun media elektronik, atau media-mesia lain yang lebih efektif dan efesien.
3. Dan kepada semua elemen masyarakat dan civil siciety, agar bekerja sama dalam mewujudkan masyarakat multikulturalisme (bhineka tunggal ika) sebagaimana telah diperjuangkan oleh para praktisi pendidikan negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA
Dawam (Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Inspeal, 2006)
Ainul, Yaqin. (Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2005)
A. Malik Fadjar, “Reorientasi Pendidikan Islam”, (Fajar Dunia, Jakarta, 1999)
Abdurrahman an-Nahlawi, “Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat”, (CV. Diponegoro, Bandung, 1989), Cet. I
Batubara, Muhyi. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004
Suyanto. Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000
Husni Rahim, Arah baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Logos, Tangerang), cet. I.
Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam transformsi pendidikan nasional, Jakarta: Grasindo, 2004)
Mahfud Choerul. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Info

•Desember 19, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

KOPI CEGAH KANKER RAHIM
Perempuan yang ingin menghindari penyakit kanker rahim sebaiknya sering-sering minum kopi. Demikian hasil pnerlitian Pusat Kanker Nasional Jepang.
Peneliti mengambil sampel dari 54 ribu perempuan berusia 40 hingga 69 tahun selama 15 tahun. Mereka memilah-milah perempuan itu ke dalam kelompok-kelompok untuk menghitung jumlah kopi yang mereka tenggak.
Hasil penelitian membuktikan kelompok perempun yang meminum kopi lebih dari tiga cangkir perhari memilki kecenderungan lebih rendah 60 % terkena kanker rahim jika dibandingkan dengan kelompok perempuan yang hanya meminum kopi dua gelas dalam seminggu.
“Kopi berpengaruh menurunkan hormon insulin, yang mampu menimbulkan kanker rahim,” demikian pernyataan hasil penelitian itu.
Menurut dat Badan Pengawasan Penyakit AS, kanker rahim merupakan peringkat keempat kanker yang paling sering menimpa perempuan. (AFP/*/X-5)
Dikutip dari Media Indonesia tanggal 2 September 2008.

Edu Blog’s

•Desember 1, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

PLURALISM’?

 Munculnya Pluralisme

  Pada awal abad ke-20 seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch menggulirkan perlunya bersikap pluralis di tengah-tengah berkembangnya konflik intern antar aliran-aliran dalam agama Kristen maupun antar agama. Dia berpendapat dalam sebuah artikelnya yang berjudul “The Place of Christianity among the World Religions”, bahwa umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri. Pendapat senada ternyata juga banyak dilontarkan oleh sejumlah pemikir dan teolog lainnya seperti sejarawan terkenal Arnold Toynbee dan tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiermacher.
  Pada dasarnya munculnya ide pluralisme agama ini dilatarbelakangi oleh menghebatnya pertikaian antara madzhab-madzhab dalam agama Kristen yang terjadi pada akhir abad ke-19 hingga sampai pada tingkatan mutual exclusion (saling mengkafirkan), sehingga mendorong presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang antar madzhab tersebut. Hal ini bisa dipahami, mengingat pada awal-awal abad ke-20 telah bermunculan bermacam-macam aliran fundamentalis di Amerika Serikat.
 
Selain konflik antar aliran madzhab dalam Kristen, faktor politik juga terkait rapat dengan latar belakang gagasan ini. Pluralisme agama adalah respon terhadap political pluralism yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal-awal abad modern, dan yang secara nyata dipraktikkan oleh USA. Kecenderungan umum dunia Barat waktu itu tengah berusaha menuju modernasasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. Maka dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks ini, maka religious pluralism pada hakekatnya adalah gerakan politik dan bukan gerakan agama
  Reaksi pihak gereja atas munculnya ide pluralisme agama ini
  Walaupun pluralisme dimunculkan oleh teolog kristen Ernst Troeltsch,Arnold Toynbee,tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiermacher, john hick. Namun pihak Gereja sangat menentang keras dengan kemunculan ide ini, baik dari pihak Katolik, Protestan ataupun aliran lainnya.
  Bukti Penentangan pihak Gereja terhadap pluralisme Agama
  Pertama: pengiriman misionaris Kristen ke seluruh penjuru dunia – khususnya dunia Islam yang terus berlangsung sampai sekarang ini.
  Kedua: John Hick (salah seorang tokoh pluralisme Internasional saat ini) banyak ditentang oleh para teolog Kristen dan pihak gereja, bahkan dia diusir dari posisi penting yang dia pegang di gereja Presbyterian. Perdebatan sengit yang kemudian dibukukan dalam sebuah buku berjudul: Problems in the Philosophy of Religion, merupakan salah satu bukti kuat tentang sanggahan dan penentangan terhadap pemikiran pluralisme agama, khususnya yang dikembangkan oleh John Hick dari kalangan pastur dan teolog Kristen.
  Nah sekarang cendawan-cendawan yang mengaku muslim malah mengambilnya dan disebarkan ke kalangan umat Islam. Suatu hal yang sangat keblinger, idiot dan buta mata hati.
  Bagi saya menilik sejarah perkembangan dan tanggapan atau reaksi mereka sendiri terhadap ide pluralisme ini, kita tidak perlu susah-susah menghabiskan energi untuk mencari kelemahan ide ini, sebab di kalangan mereka sendiri menentang habis-habisan – termasuk dari para romo dan pendeta taat Kristen di Indonesia. Padahal ide ini kalau dikembangkan di negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam, maka sangat menguntungkan sekali bagi proses Kristenisasi.
  Ketika kedua agama tersebut dianggap sama, tidak ada beda selain tata cara dan bajunya, maka umat yang ’sendiko dawuh” (taat) dengan himbauan pluralis tersebut tak lagi memiliki ghirah (kecemburuan) dalam beragama. Baginya tidak ada yang istimewa pada Islam bila dibandingkan dengan Kristen, tak ada kelebihannya seorang Muslim dibandingkan dengan penganut Kristen, karena semua agama sama.
  Pada saat yang bersamaan, secara finansial para misionaris Kristen lebih menjanjikan keuntungan seperti yang menjadi misi unggulan mereka. Terutama di daerah-daerah yang masih dibilang miskin. Logika manusia normal, ketika harus memilih antara dua agama yang sama-sama dianggap benar tentunya variabel lain yang dijadikan alat timbang adalah keuntungan materi. Maka dengan ringan mereka mau melepas baju Islamnya untuk mendapatkan materi dengan bergabung dengan jema’at Kristen, toh tak ada nilai lebih Islam sehingga harus dipertahankan dengan menanggung lapar dan kemiskinan. Di sinilah kontribusi Jaringan Islam Liberal penyebar pluralisme terhadap Misinonaris Kristen terbukti.
  Saya lalu berbicara pada teman saya itu :”Pihak Gereja saja sangat menentang keras dengan kemunculan ide ini, baik dari pihak Katolik, Protestan ataupun aliran lainnya, padahal berasal dari teolog mereka, apa Kita sebagai muslim akan mengambil paham pluralsme agama ini.
  “Kalau kita mengambilnya berarti goblok , keblinger,idiot dan buta mata hati”
  “Apa kamu mau seperti itu?” kata saya mengakhiri diskusi dengan teman

Pluralism

•Desember 1, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

Munculnya Pluralisme

Pada awal abad ke-20 seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch menggulirkan perlunya bersikap pluralis di tengah-tengah berkembangnya konflik intern antar aliran-aliran dalam agama Kristen maupun antar agama. Dia berpendapat dalam sebuah artikelnya yang berjudul “The Place of Christianity among the World Religions”, bahwa umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri. Pendapat senada ternyata juga banyak dilontarkan oleh sejumlah pemikir dan teolog lainnya seperti sejarawan terkenal Arnold Toynbee dan tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiermacher.
Pada dasarnya munculnya ide pluralisme agama ini dilatarbelakangi oleh menghebatnya pertikaian antara madzhab-madzhab dalam agama Kristen yang terjadi pada akhir abad ke-19 hingga sampai pada tingkatan mutual exclusion (saling mengkafirkan), sehingga mendorong presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang antar madzhab tersebut. Hal ini bisa dipahami, mengingat pada awal-awal abad ke-20 telah bermunculan bermacam-macam aliran fundamentalis di Amerika Serikat.
Selain konflik antar aliran madzhab dalam Kristen, faktor politik juga terkait rapat dengan latar belakang gagasan ini. Pluralisme agama adalah respon terhadap political pluralism yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal-awal abad modern, dan yang secara nyata dipraktikkan oleh USA. Kecenderungan umum dunia Barat waktu itu tengah berusaha menuju modernasasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. Maka dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks ini, maka religious pluralism pada hakekatnya adalah gerakan politik dan bukan gerakan agama
Reaksi pihak gereja atas munculnya ide pluralisme agama ini
Walaupun pluralisme dimunculkan oleh teolog kristen Ernst Troeltsch,Arnold Toynbee,tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiermacher, john hick. Namun pihak Gereja sangat menentang keras dengan kemunculan ide ini, baik dari pihak Katolik, Protestan ataupun aliran lainnya.
Bukti Penentangan pihak Gereja terhadap pluralisme Agama
Pertama: pengiriman misionaris Kristen ke seluruh penjuru dunia – khususnya dunia Islam yang terus berlangsung sampai sekarang ini.
Kedua: John Hick (salah seorang tokoh pluralisme Internasional saat ini) banyak ditentang oleh para teolog Kristen dan pihak gereja, bahkan dia diusir dari posisi penting yang dia pegang di gereja Presbyterian. Perdebatan sengit yang kemudian dibukukan dalam sebuah buku berjudul: Problems in the Philosophy of Religion, merupakan salah satu bukti kuat tentang sanggahan dan penentangan terhadap pemikiran pluralisme agama, khususnya yang dikembangkan oleh John Hick dari kalangan pastur dan teolog Kristen.
Nah sekarang cendawan-cendawan yang mengaku muslim malah mengambilnya dan disebarkan ke kalangan umat Islam. Suatu hal yang sangat keblinger, idiot dan buta mata hati.
Bagi saya menilik sejarah perkembangan dan tanggapan atau reaksi mereka sendiri terhadap ide pluralisme ini, kita tidak perlu susah-susah menghabiskan energi untuk mencari kelemahan ide ini, sebab di kalangan mereka sendiri menentang habis-habisan – termasuk dari para romo dan pendeta taat Kristen di Indonesia. Padahal ide ini kalau dikembangkan di negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam, maka sangat menguntungkan sekali bagi proses Kristenisasi.
Ketika kedua agama tersebut dianggap sama, tidak ada beda selain tata cara dan bajunya, maka umat yang ’sendiko dawuh” (taat) dengan himbauan pluralis tersebut tak lagi memiliki ghirah (kecemburuan) dalam beragama. Baginya tidak ada yang istimewa pada Islam bila dibandingkan dengan Kristen, tak ada kelebihannya seorang Muslim dibandingkan dengan penganut Kristen, karena semua agama sama.
Pada saat yang bersamaan, secara finansial para misionaris Kristen lebih menjanjikan keuntungan seperti yang menjadi misi unggulan mereka. Terutama di daerah-daerah yang masih dibilang miskin. Logika manusia normal, ketika harus memilih antara dua agama yang sama-sama dianggap benar tentunya variabel lain yang dijadikan alat timbang adalah keuntungan materi. Maka dengan ringan mereka mau melepas baju Islamnya untuk mendapatkan materi dengan bergabung dengan jema’at Kristen, toh tak ada nilai lebih Islam sehingga harus dipertahankan dengan menanggung lapar dan kemiskinan. Di sinilah kontribusi Jaringan Islam Liberal penyebar pluralisme terhadap Misinonaris Kristen terbukti.
Saya lalu berbicara pada teman saya itu :”Pihak Gereja saja sangat menentang keras dengan kemunculan ide ini, baik dari pihak Katolik, Protestan ataupun aliran lainnya, padahal berasal dari teolog mereka, apa Kita sebagai muslim akan mengambil paham pluralsme agama ini.
“Kalau kita mengambilnya berarti goblok , keblinger,idiot dan buta mata hati”
“Apa kamu mau seperti itu?” kata saya mengakhiri diskusi dengan teman

Hello world!

•Desember 1, 2008 • 1 Komentar

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!